Pandeglang, Banten — Rakyat Oposisi
Di sudut barat Pulau Jawa, tepatnya di Kecamatan Patia, Kabupaten Pandeglang, ada kisah yang jarang tersorot kamera dan minim mendapat perhatian kebijakan. Di sana, sekitar 50 guru honorer setiap hari berdiri di depan kelas, mengajar dengan penuh dedikasi meski diganjar upah jauh dari kata layak.
Mereka adalah wajah nyata pengabdian yang terlupakan.
Kasman, Ketua Jurnalis Banten Bersatu (JBB), menjadi salah satu suara yang berani mengangkat kisah pilu ini. Dengan pena dan nurani, ia menjadikan perjuangan guru honorer Patia bukan sekadar berita, tapi panggilan moral.
“Mereka bukan sekadar guru, mereka benteng terakhir pendidikan di pelosok negeri. Tapi apa balasan negara? Bahkan untuk diangkat menjadi PPPK pun, mereka masih dibayang-bayangi nepotisme,” tegas Kasman.
Potret Pahit di Pelosok Negeri
Di Patia, banyak ruang kelas masih berdinding bambu dan berlantai tanah. Guru-guru honorer ini berjalan kaki atau mengendarai motor tua menembus jalan terjal demi mengajar. Mereka tidak menuntut fasilitas mewah, mereka hanya ingin diakui dan diperlakukan adil.
Namun, harapan itu kerap kandas di meja birokrasi. Proses seleksi PPPK yang seharusnya transparan, justru dituding sarat manipulasi dan “titipan”. Banyak guru yang sudah belasan tahun mengabdi malah tersingkir, tergantikan oleh wajah baru yang tiba-tiba muncul di tahun-tahun politik.
“Kami tidak menolak orang lain diangkat, tapi tolong, jangan singkirkan kami hanya karena kami tidak punya ‘orang dalam’,” ungkap seorang guru honorer dengan mata berkaca-kaca.
![]()
Pena Melawan Nepotisme
Kasman bersama JBB kini menjadi corong suara mereka. Ia menyuarakan ketidakadilan ini ke publik, menggalang dukungan dari masyarakat, tokoh pendidikan, hingga lembaga pengawas.
“Negara tidak boleh membiarkan kebijakan yang membunuh keadilan. Jika pendidikan dibangun di atas manipulasi, maka masa depan kita sedang dipertaruhkan,” tegasnya dalam forum diskusi publik.
Perjuangan ini tentu tidak mulus. Namun, Kasman percaya bahwa jurnalisme bukan hanya soal menulis apa yang terlihat, melainkan membongkar apa yang selama ini disembunyikan.
Dari Sunyi ke Sorotan
Kini, kisah guru honorer Patia mulai menggema di luar batas desa. Mereka tidak lagi sekadar objek penderita, melainkan subjek perjuangan yang layak diperjuangkan.
Mereka tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya menuntut keadilan: pengakuan, penghargaan, dan kesempatan yang sama untuk menjadi ASN atau PPPK—tanpa harus tunduk pada relasi kuasa.
Di tengah arus nepotisme yang kian terasa, kisah 50 guru honorer di Patia adalah pengingat bahwa keadilan tidak boleh hanya milik mereka yang punya akses, tapi juga milik mereka yang selama ini diam dalam keterbatasan—namun tetap setia mengabdi.
“Jurnalisme sejati bukan sekadar menyampaikan apa yang terjadi, tetapi menyoroti apa yang selama ini disembunyikan,” pungkas Kasman. (Red)